jppos.id.sulbar. Mamasa Jumat 29 November 2025 — Polemik terkait lahan Pemerintah Daerah yang telah diserahkan kepada Kepolisian Resor (Polres) Mamasa untuk pembangunan Polsek Sumarorong semakin memanas setelah terungkap adanya warga yang tidak memiliki rumah lain dan terancam kehilangan tempat tinggal tanpa adanya solusi yang jelas dari pemerintah.
Luter, disebutkan telah puluhan tahun menempati lokasi tersebut. Ia kini menghadapi kenyataan pahit karena diwajibkan mengosongkan rumahnya, padahal kondisi kesehatannya sedang kritis akibat penyakit ginjal dan ia tidak memiliki lahan maupun rumah lain untuk ditempati.
“Kami sudah tidak punya tempat lain. Listrik, air, dan sumber penghasilan kami hanya ada di sini. Kami bukan menolak pembangunan, kami hanya minta negara hadir membantu kami. Jangan usir kami tanpa fasilitas,” ungkap Luter dengan nada pilu. 28/11/25
Saat dikonfirmasi, Bupati Mamasa menyampaikan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki anggaran untuk penanganan warga terdampak. Ia menegaskan bahwa lahan tersebut telah diserahkan sepenuhnya kepada pihak Polres sebagai pengguna.
“Silakan ditanyakan ke Polres Mamasa. Kami tidak punya uang untuk itu, karena lahan tersebut sudah menjadi tanggung jawab Polres,” ujar Bupati secara singkat.29/11/25
Sementara itu, Kapolsek Sumarorong, ketika dimintai keterangan terkait adanya kompensasi bagi warga terdampak, mengaku tidak mengetahui secara detail prosesnya.
“Untuk kompensasi, saya tidak tahu. Itu ditangani langsung Polda,” ujarnya singkat.29/11/25
Masyarakat ikut membenarkan fakta bahwa Luter tidak memiliki rumah lain, dan menyebutkan bahwa pihak kelurahan telah menerima pemberitahuan bahwa area pasar, tempat warga tersebut tinggal, harus sudah dikosongkan sebelum 15 Januari 2026
Melihat situasi tersebut, Ketua Lembaga Investigasi Badan Penyelamat Aset Negara (LI-BAPAN), Benyamin, bersama Ketua Komisariat Cabang Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LPKPK) Herman Welly, serta Kepala Divisi Investigasi LPKPK, Ariel Christian, menyatakan tekad untuk mengawal kasus ini sampai tuntas.
> “Kami tidak menolak pembangunan Polsek. Kami mendukung penuh aparat negara. Namun, hak warga negara tidak boleh diabaikan. Konstitusi menjamin hak hidup yang layak. Negara tidak boleh membiarkan warganya sakit, terlantar, dan kehilangan tempat tinggal hanya karena pembangunan,” tegas Benyamin.
Hak warga tersebut bukan sekadar tuntutan emosional, tetapi dijamin oleh undang-undang, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal 34 ayat (1): Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 40: Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal dan memperoleh kehidupan yang layak.
Pasal 36 ayat (1): Setiap orang berhak atas tempat tinggal yang layak.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Negara wajib menjamin hak warga untuk menghuni rumah yang layak dan wajib menyediakan hunian pengganti bagi warga yang terkena dampak pembangunan.
Dengan demikian, pemerintah daerah, Polres, dan instansi terkait memiliki kewajiban hukum, bukan sekadar moral, untuk memastikan warga tidak menjadi korban pembangunan.
Kedua lembaga ini meminta:
1. Penundaan eksekusi pengosongan sebelum adanya solusi perumahan resmi dari negara.
2. Kompensasi layak dan dapat diuji secara hukum.
3. Pendataan resmi warga terdampak, termasuk kondisi kesehatan Luter.
4. Mediasi terbuka bersama Polda, Pemkab Mamasa, dan DPRD.
Alamat Lembaga Sekretariat LI-BAPAN
Desa Osango, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat
Kasus ini bukan sekadar persoalan bangunan Polsek atau aset pemerintah. Ini adalah cermin bagaimana sebuah negara memperlakukan warganya—apakah sebagai subjek yang harus dilindungi atau hanya objek yang bisa dipindahkan kapan saja.
Masyarakat kini menunggu langkah nyata pemerintah. Apakah pembangunan akan menjadi alasan untuk menyingkirkan warga tak berdaya, atau menjadi momentum kehadiran negara dalam menjamin hak-hak kemanusiaan? (Herman Welly)








