JPPOS.ID | SINGKAWANG – Bicara soal Kota Singkawang tidak akan pernah ada habisnya. Hanya saja memang tergantung soal topik apa yang dibicarakan. Kawasan daerah yang terletak di utara Provinsi Kalimantan Barat ini boleh dibilang tidak begitu luas dan tidak pula begitu kecil. Setahu saya sektor yang hingga hari ini diandalkan Pemerintah Kota Singkawang yakni jasa dan pariwisata, selebihnya mungkin sebatas pelengkap semata.
Awalnya tak banyak yang tahu tentang kota ini, meski kota ini adalah kota kedua setelah Kota Pontianak, yang merupakan ibukota Kalimantan Barat. Namun, sejak perhelatan Cap Go Meh yang mulai dimasukkan dalam kalender pariwisata pemerintah pusat, nama Singkawang pun mulai dikenal. Singkawang memang secara administratif sebuah daerah pemerintahan Kota yang dipimpin oleh seorang Wali Kota seperti Kota Pontianak, sementara lainnya dikepalai Bupati sebab memiliki wilayah lebih luas dan berstatus Kabupaten.
Wisatawan bisa menikmati ruang terbuka yang nyaman di Singkawang, Kalimantan Barat. Pemerintah setempat sudah menghadirkan beberapa ruang publik yang asyik dengan berbagai dekorasi menarik, termasuk publik corner dikawasan Vihara Bumi Raya pusat kota yang belakangan ini jadi primadona baru. Asyik buat foto-foto dan terpenting gratis.
Ruang publik yang baik seharusnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya sebagai makhluk sosial, dan memungkinkan masyarakat untuk mengapresiasi, bersosialisasi dengan warga lainnya, atau sekadar jalan-jalan sore dan bersantai sambil menikmati suasana kota dan bahkan matahari tenggelam. Hal itulah yang dapat diwujudkan dengan mudah, setidaknya di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Kota Singkawang sendiri dikenal dengan sebutan Kota Seribu Kuil, karena memang sangatlah mudah menjumpai kuil-kuil di Singkawang, dari yang besar hingga kecil. Hal tersebut juga menambah daftar daya tarik yang dimiliki kota berpopulasi sekitar 235 ribu penduduk ini. Tak mau kalah dengan Pontianak, Singkawang menyimpan banyak keunikan di setiap sudut kotanya yang menarik untuk digali dan diulik. Termasuk penataan kawasan kumuh yang saat ini tengah dikerjakan, yakni water front Kuala.
Bagi saya, berjalan kaki di tempat dan lingkungan baru selalu menjadi kegiatan menyenangkan yang wajib saya lakukan jika singgah ke negeri atau daerah orang. Apalagi lagi di daerah asal saya sendiri, sembari menemukan setiap sudut unik kota dengan handicap Kota Tertoleran oleh pemerintah pusat rasanya seperti mendapatkan harta karun di tengah keramaian. Tak banyak yang menyadari, namun terlalu berharga jika dilewatkan begitu saja.
Itulah yang saya rasakan sebagai warga kota tempat saya dibesarkan ini, ketika saya mulai serius menekuni bidang jurnalistik maka tuntutan mendasar yakni harus mengenal karakteristik kota ini, termasuk potensi-potensi yang terkandung di dalamnya. Singkawang memang tidak sesibuk Pontianak, jadi jangan heran jika setiap sore akan lebih banyak orang bersepeda atau sepeda motor ketimbang mengendarai mobil.
Menikmati Singkawang mengingatkan siapapun mereka pada derah-daerah di Tiongkok, atau Singapura misalnya. Namun demikian, jika menilik latar belakang etnis di Singkawang sendiri selain Tionghoa ada juga Dayak dan Melayu yang kesemuanya tentu saja hidup rukun berdampingan. Hanya saja, diakui memang soal penataan kawasan perkotaan Singkawang masih perlu banyak lagi yang mesti dilakukan.
Entah itu taman yang sangat luas, taman yang berkolam, hutan di tengah-tengah kota, hingga ruang terbuka yang dihiasi instalasi seni sebagaimana halnya dengan daerah di pulau Jawa atau di luar negeri. Tapi sekali lagi bukan berarti pemerintah Kota Singkawang belum memulainya, program Kota Pusaka adalah satu diantara langkah pemerintah Singkawang saat ini.
Dari sekian banyak ruang terbuka yang tersebar di penjuru Singkawang, ada satu sudut ruang terbuka yang paling menarik perhatian, yang membuat saya langsung berpikir,
“Singkawang dan seperti kota pariwisata di Indonesia lainnya tentu juga bisa punya ruang terbuka seperti ini, tapi kapan?”
Saya menyebutnya Beringin Corner, atau Simpang Beringin. Letaknya persis di tengah kota, berhampiran pula dengan jalan Diponegoro yang merupakan akses jalan protokol. Kawasan ini adalah sebuah ruang terbuka yang hingga saat ini cuma jadi tempat parkir nasabah atau pegawai sebuah bank plat merah. Di waktu tertentu, petugas keamanan juga memanfaatkan ruang ini sebagai tempat berjaga-jaga.
Ruang terbuka publik Beringin Corner ini juga memiliki sejarah panjang, seiring keberadaan pohon beringin yang disebut-sebut berusia lumayan tua dan konon sudah ada sebelum Singkawang menjadi sebuah pemerintahan Kota. Pojok beringin ini juga diantara salah satu ikon Kota Singkawang.
Bila digambarkan, bentuk kawasan ini seperti taman segitiga menjadi pembatas muara menuju jalan protokol Diponegoro. Untuk menata kawasan-kawasan terbuka publik, pemerintah Kota Singkawang sebenarnya tidaklah mesti harus merogoh kocek lebih dalam, alias dengan biaya mahal. Melalui kreativitas seniman lokal misalnya, bisa dihasilkan mural yang dilukiskan di tengah-tengah jalan dan hal-hal out of the box lainnya.
Bahkan dari kreativitas seniman, bisa menghasilkan pohon yang terbuat dari rangkaian besi bekas atau bahan bekas lainnya. Daun-daunnya adalah lonceng, sehingga pohon ini akan menghasilkan riuh gemerincing saat tertiup angin. Atau yang pernah pula saya jumpai saat perhelatan sebuah acara di lapangan Kridasana, salah satu Dinas menampilkan bentuk robot yang terbuat dari botol-botol plastik.
Saya yakin, Singkawang pun bisa memiliki ruang terbuka seni seperti halnya daerah atau negara lain. Memiliki ruang terbuka publik yang penuh dengan sentuhan tangan dingin seniman lokal. Bagaimana tidak, sebenarnya Singkawang memang memiliki banyak seniman-seniman handal, terlebih di kota ini sektor perdagangan, jasa dan pariwisata tak terbantahkan menjadi urat nadi pendapatannya.
Kini tinggal lahannya saja yang seharusnya disediakan oleh pemerintah kota sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat, atau memang memanfaatkan lahan yang sememangnya sudah tersedia.
Jika memang mau, kota Singkawang sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia tentu bisa memanfaatkan lahan-lahan yang tidak terpakai untuk aktivitas publik. Bukan melulu untuk mall atau tempat-tempat bisnis yang kini semakin subur pembangunannya. Toh, senimannya sudah banyak, masyarakatnya sudah apresiatif, tinggal lahannya saja yang harus diperjuangkan. Jika harapan ini bisa benar-benar terealisasi, nampaknya saya tidak akan jadi satu-satunya orang yang paling berbahagia. (Topan)