Soal Dugaan Perampasan Kendaraan Oleh Oknum ‘DC’ ACC FINANCE Ini..! Kata Ujang Kosasih SH

Jppos.id.TANGERANG—-Menyoal dugaan perampasan kendaraan oleh oknum debt collector mengaku dari ACC Finance yang menimpa Karyati wanita asal Kecamatan Jawilan Kabupaten Serang di Parkiran Tang City (22/07/23) beberapa waktu lalu.

Praktisi Hukum sekaligus Ketua Umum Forum Ikatan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Indonesia (ILI) Ujang Kosasih,.SH ikut angkat bicara. Ia menyebut tindakan polisi yang sudah mengamankan unit kendaraan yang menjadi objek permasalahan itu sudah tepat. Tinggal sejauhmana pihak kepolisian Polresta Tangerang Kota mengimplementasikan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang peran Kepolisian dalam melakukan pengamanan eksekusi jaminan fidusia.

Pria yang kesehariannya mempunyai kegiatan menangani Perlindungan Konsumen ini menegaskan bahwa, debt collector atau penagih utang tidak boleh menarik kendaraan di jalan. Dalam hal ini, merampas secara paksa dari tangan debitur yang menunggak.

Ia mengungkapkan apapun dalilnya penarikan kendaraan dijalan bisa dikatagorikan sebagai perampasan karena sudah jelas ini pelanggaran hukum. Lebih lanjut praktisi hukum asal Lebak Banten ini mengungkapkan bahwa, prosedur penyitaan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 38 KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUUXVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUUXIX/2021 dalam rangka Pencegahan Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor.

“Dasar Hukum penyitaan dan prosedurnya jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 pasal 38 KUHP, yang menyebutkan bahwa tindakan penyitaan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari pengadilan. Dalam penjelasan pasal tersebut di atas semua jenis penyitaan harus mengajukan permohonan terlebih dahulu ke pengadilan, senada dengan putusan MK No.18/UU-XVII/2019 Tentang Eksekusi Jaminan, harta benda, motor, mobil, rumah, milik konsumen yang dibeli secara cicilan adalah murni milik konsumen, hubungan hukum konsumen dengan benda tersebut adalah pemilik, hubungan konsumen dengan Finance, Bank adalah hutang piutang, jika debt collector datang untuk menyita barang-barang milik anda maka pertanyakan fiat dari ketua pengadilannya,” terang Ujang Kosasih.

Ujang Kosasih juga menjelaskan bahwa, Konsumen dilindung oleh hukum, sebagai mana yang di maksud dalam pasal 1 BAB 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, yang pada intinya menjelaskan. Yang dimaksud perlindungan konsumen adalah. Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk melindungi konsumen,

Advokat yang kerap kali mendampingi masyarakat berjuang mencari keadilan di ruang pengadilan ini juga menegaskan, menagih hutang dengan mengancam, memaki, dapat dikenakan pidana sebagai mana dimaksud dalam pasal 27 ayat(4) jo pasal 45 ayat (4) UU ITE ancaman kurungan 6 tahun penjara dan denda 1 (satu) milyar rupiah.

“Jika mengalami ancaman, caci maki, intimidasi dari penagih hutang (Debt Collector) laporkan saja ke SPKT polri terdekat dengan membawa bukti awal seperti vidio, rekaman kejadian,” imbuhnya.

Sebelumnya ramai diberitakan media online, diketahui debt collector mengaku dari ACC Finance diduga merampas mobil atas nama Adang Sopian suami Karyati yang menunggak cicilan selama dua bulan di parkiran Tang City Blok2.

Dalam video yang berhasil didapatkan awak media ini dari Karyati korban dugaan perampasan, debt collector tersebut beramai-ramai berusaha menarik kendaraan secara kasar dan terlibat perselisihan perebutan kunci kendaraan.

Ketua Forum Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Indonesia (ILI) menegaskan bila memenuhi unsur, tindakan oknum debt collector ini bisa juga dikatagorikan sebagai tindak pidana Pemerasan sesuai dengan Pasal 368 KUHP Ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain; atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

Tindakan perampasan oleh oknum debt collector tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan apabila memenuhi unsur-unsur pada Pasal 368 KUHP Ayat (1). Maksud dari masing-masing unsur tersebut antara lain:

1. Unsur “memaksa” adalah melakukan tekanan pada seseorang, sehingga seseorang tersebut melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri.
2. Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang” Pemerasan dianggap telah terjadi, apabila nasabah tersebut telah menyerahkan unit kendaraan kredit sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan unit tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh nasabah kepada oknum debt collector. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari nasabah yang bersangkutan.
3. Unsur “supaya memberi hutang “. Memberi hutang dimaksudkan untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban bagi nasabah untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan unit kredit kepada oknum debt collector atau orang lain yang dikehendaki.
4. Unsur “untuk menghapus hutang”. Maksud dari menghapus piutang adalah meniadakan perikatan yang sudah ada dari nasabah kepada oknum debt collector atau perusahaan leasing.
5. Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain”. Yang dimaksud dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, akan tetapi cukup apabila dapat dibuktikan bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Terkait kasus Karyati yang saat ini sudah dilaporkan kepada pihak Kepolisian Polresta Tangerang Kota, Ujang Kosasih SH menyebut tindakan Karyati selaku korban sudah tepat, namun ia juga mengatakan tidak menutup kemungkinan penyelesaian kasus perampasan kendaraan bermotor oleh debt collector ini mungkin saja dilakukan dengan cara mediasi karena ada payung hukumnya, yaitu Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang mengatur mengenai restoratif justice dalam proses penyidikan.

Tim. Jppos

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *