JPPOS.ID,Jakarta_Prandelli Covid-19 telah membuat perekonomian negara menjadi tertinggal, hal ini tidak terjadi di Indonesia namun juga di seluruh belahan dunia. Namun, pasca pandemi, banyak negara yang sudah mulai menata perekonomiannya kembali terasuk di Indonesia. Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis perkembangan inflasi Oktober 2020 beserta dengan nilai tukar dan likuiditas perekonomian di Indonesia. Dari hasil data tersebut, rata-rata telat terjadi perubahan pada angka inflasi, nilai tukar, dan liquiditas di bulan Oktober 2020.
Berdasarkan data dari BPS yang telah dihimpun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, di bulan Oktober ini Inflasi tercatat 0,07% (MtM) meningkat dari bulan sebelumnya yaitu -0,05%, secara tahunan tercatat 1,44% (YoY) meningkat tipis dari inflasi bulan September 2020 yaitu 1,42% (YoY) dan berada dibawah batas minimal sasaran inflasi 2020 sebesar 2-4% (YoY).
Pandemi ini juga telah berdampak pada penurunan daya beli, salah satunya diperlihatkan olek Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang berada dibawah 100. IKK menurun drastis pada Maret-April 2020, dan mulai mengalami kenaikan sejak Juni 2020 dan mencapai 86,90 pada Agustus 2020. Namun, kembali menurun pada September 2020 sebesar 83,40, nilai tersebut masih masih berada pada zona pesimis (IKK <100).
Untuk Nilai Tukar Petani (NTP) sejak Januari hingga Juni 2020 mengalami penurunan, bahkan berada di bawah 100 pada Mei dan Juni 2020, merupakan indikasi daya beli di tingkat Petani menurun. Masuk di bulan Oktober 2020, NTP kembali naik 0,58% (mtm) dibandingkan dengan September 2020 (101,66) menjadi 102,25. Kondisi tersebut masih dibawah target RKP tahun 2020 yaitu 103,0. Kenaikan NTP ini didukung oleh subsektor Perkebunan 2,67%, Pangan 0,90%, dan Perikanan 0,18%.
Perkembangan Nilai Tukar rupiah pada 6 November 2020 tercatat berada pada level Rp14.321 per dolar AS. Level tersebut menguat dibandingkan akhir Oktober 2020, yang tercatat pada level Rp14.690 per dolar AS. Diperkirakan Nilai Tukar Rupiah akan berada pada kisaran Rp14.650 di akhir tahun 2020 dan kisaran Rp14.700 ditahun 2021. Perbaikan ekonomi global (Tiongkok dan Amerika Serikat) serta kemampuan Indonesia dalam melewati pandemi COVID-19 merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi pergerakan Rupiah.
Dalam mengatasi masalah nilai tukar rupiah ini, Kementerian PPN telah merekomendasikan kebijakan untuk pengendalian nilai tukar rupiah. Pertama dengan cara Meningkatkan intensitas kebijakan triple intervention di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder. Kedua, memastikan kecukupan likuiditas melalui penurunan GWM valas dan mengurangi tekanan di pasar valas. Ketiga, menjaga risiko nilai tukar rupiah dengan menyediakan lebih banyak instrumen lindung nilai terhadap risiko nilai tukar Rupiah melalui transaksi DNDF, memperbanyak transaksi swap valas, dan penyediaan term repo untuk kebutuhan perbankan. Keempat, Memperkuat ketahanan eksternal Kebijakan stabilitas nilai tukar Rupiah didukung penguatan ketahanan eksternal melalui kerja sama bilateral swap dan repo dengan sejumlah bank sentral negara lain, termasuk bank sentral AS dan Tiongkok.
Menilik kondisi liquiditas perekonomian di Indonesia berdasarkan data dari BPS, hingga September 2020, kondisi likuiditas perekonomian mengalami peningkatan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Peningkatan ini tercermin dari rata-rata pertumbuhan M1 dan M2 yang mencapai 12% (yoy) dan 10% (yoy) per September 2020. Adanya kebijakan moneter akomodatif akan mendukung kondisi liquiditas. Peningkatan ini sejalan dengan proses pemulihan ekonomi dan didorong ekspansi operasi keuangan Pemerintah.
Pemerintah Indonesia juga telah melakukan injeksi liquiditas yang meliputi penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) dan juga ekspansi moneter. Money multiplier hingga September 2020, secara rata-rata meningkat mencapai 6,6 mencerminkan likuiditas perekonomian cukup tinggi dan sistem keuangan Indonesia masih berjalan dengan baik.(Effendi)