JPPOS.ID_Sleman — Ratusan Mahasiswa yang tergabung Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) merupakan sebuah bentuk kolektif yang terdiri dari berbagai elemen sipil, di antaranya pelajar, mahasiswa, buruh, dan pekerja informal serta individu-individu merdeka menyatakan mosi tidak percaya di bundaran UGM, Selasa (20/10/20).
Kegiatan yang dilakukan menggelar sepanduk dan poster yang bertuliskan, Sidang Dewan Rakyat Mosi tidak Percaya, Turunkan Jokowi Ma’ruf Amin, DPR GOBLOK.
Dalam orasinya Saudara Revo mengatakan Mosi Tidak Percaya, yang mengandung maksud ketidakpercayaan pada seluruh tatanan yang menindas saat ini, sebuah sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang sekaligus menindas rakyat kecil dan mengeksploitasi, menghancurkan alam secara maha dahsyat.
Konteks Indonesia, daya rusak tatanan tersebut masuk berbarengan dengan penjajahan Indonesia dijadikan sebagai penyedia tenaga kerja dan bahan baku murah bagi korporasi global.
Negara adalah sebuah alat yang semula didirikan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan, menentang penghisapan satu manusia terhadap manusia lainnya, akan tetapi faktanya penjajahan masih terus terjadi hingga hari ini yang malah difasilitasi oleh negara.
Penguasaan lahan oleh segelintir orang semakin parah di Indonesia. Data yang dirilis KPA pada 2019, terdapat 1% penduduk menguasai 68% tanah di Indonesia. Rentang 2014-2019 tercatat 2.047 perampasan lahan warga oleh negara dan perusahaan pada sektor perkebunan, properti, pembangunan infrastruktur, pertanian, pertambangan dan kehutanan,Terjadi lonjakan hampir dua kali lipat dibanding periode 2009-2014. Paparnya.
Diperkuat dengan disahkannya UU Cipta Kerja Omnibus Law, salah satu agendanya menghadirkan Bank Tanah dalam rangka mempercepat perampasan sepihak untuk pembangunan infrastruktur. Begitu pun UU Minerba menjadi jalan bebas hambatan buat para pemodal untuk memonopoli dan mengeksplotasi alam.
Padahal, “memperdagangkan” sumber agraria menyalahi amanat UUD 1945, UUPA 1960, dan Tap MPR IX/2001. Begitu pun UU Minerba menjadi jalan bebas hambatan buat para pemodal untuk memonopoli dan mengeksplotasi alam. Padahal, “memperdagangkan” sumber agraria menyalahi amanat UUD 1945, UUPA 1960, dan Tap MPR IX/2001.
Pada isu gender, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami lonjakan yang cukup tinggi, terutama di masa pandemi. Berdasar laporan yang diterima LBH APIK sepanjang Maret-April 2020, terdapat 33 kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga, 30 kasus kekerasan berbasis gender, delapan kasus pelecehan seksual, dan tujuh kasus kekerasan dalam hubungan pacaran, dan 97 kasus kekerasan seksual.
Catatan tersebut mencerminkan bagaimana marginalisasi terhadap perempuan (dan identitas gender minor lainnya) akibat ketiadaan perlindungan hukum yang memadai. Dikeluarkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari prioritas Prolegnas 2020 adalah pengkhianatan upaya pemenuhan keadilan bagi korban/penyintas kekerasan seksual dan semakin menelanjangi wajah DPR yang tidak memiliki komitmen dalam penyelesaian kasus tersebut.
Faktanya, pembunuhan, penyiksaan, kriminalisasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh negara tanpa segan terhadap rakyat kerap kita jumpai setiap tahun. Di saat yang sama negara memberikan jalan bebas hambatan bagi korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam.
Orasi yang dilakukan oleh Saudari Lusi meneriakkan Ragam persoalan yang membelit kehidupan rakyat di atas dikarenakan oleh sistem kekuasaan yang menindas sepanjang sejarah Indonesia.
Pasca proklamasi kemerdekaan, sistem politik senantiasa berubah, tapi selalu gagal merumuskan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat kecil. Mayoritas rakyat tidak terlibat penuh dalam merencanakan, memutuskan, hingga mengontrol keputusan yang menyangkut kehidupan dan penghidupannya. Inilah sebabnya segala kebijakan politik dan ekonomi yang dibuat oleh negara tidak pernah menyasar kepentingan dan kebutuhan atas kesejahteraan rakyat kecil.
Lusi menambahkan ,bukanlah sesuatu yang final, bukan tujuan, melainkan salah satu cara akan memerlukan serangkum proses yang berkelanjutan. Konsep-konsep ini dapat terlaksana bila syarat solidaritas tanpa filantropisme dan keadilan transformatif telah dipenuhi. Berikut beberapa konsep kami, Partisipasi langsung untuk mencapai konsensus, Otonomi individu, Horizontalisme, Interelasi, Inklusi.
Ada pun, tawaran program transisi menuju Dewan Rakyat di antaranya, Hapus hutang luar negeri
Mayoritas rakyat tidak sudi dan menolak menanggung utang luar negeri yang dipergunakan rezim bukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat kecil, Redistribusi kekayaan
Hal ini merupakan hal krusial untuk perwujudan keadilan melalui pajak progresif 70% bagi orang kaya sebab akumulasi kekayaan orang kaya berlangsung dengan cara memiskinkan mayoritas rakyat kecil.
Reforma Agraria
Redistribusi lahan bagi seluruh rakyat dengan pengelolaan penuh dari rakyat. Selain itu, peniadaan praktek monopoli lahan oleh segelintir pemodal,
Nasionalisasi aset asing dan swasta untuk kesejahteraan rakyat, Mendukung perjuangan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi bangsa West Papua
Mosi Tidak Percaya dan ragam persoalan yang membelit kehidupan rakyat di atas dikarenakan oleh sistem kekuasaan yang menindas sepanjang sejarah Indonesia. Pasca proklamasi kemerdekaan, sistem politik senantiasa berubah, tapi selalu gagal merumuskan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat kecil.
Malahan, UU Cipta Kerja yang nyatanya menyengsarakan rakyat pun dirumuskan dan disahkan oleh pemerintah dan DPR walau menuai gelombag penolakan dari awal tahun hingga sekarang.
Maka dari itu Aliansi Rakyat menggugat menuntut, Gagalkan Omnibus Law, Mendukung dan mempersiapkan mogok Nasional untuk menggagalkan Omnibus Law, Tolak upaya oposisi kanan Borjois, K.A.M. menunggangi gerakan anti Omnibus Law, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Rls (Gito,Dodo,Tyok Diy)