JPPOS.ID | SINGKAWANG – Indikasi kasus pembalakan sekaligus upaya oknum masyarakat yang terang-terangan merubah fungsi hutan kota di Gunung Sari Singkawang terus digiring DPRD Singkawang melalui Komisi I yang turut menghadirkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN/ATR) Kota Singkawang Kalimantan Barat, Rabu (9/9/2020). Agenda pertemuan kali ini adalah konfirmasi kepemilikan lahan di Gunung Sari yang merupakan hutan kota.
Langkah yang diambil Komisi I yang menghadirkan Marihot Gultom Kepala BPN/ATR Singkawang pada hari ini juga merupakan rangkai sehari sebelumnya, dimana para Wakil Rakyat dari Komisi I DPRD Singkawang ini usai melakukan pengecekan langsung ke lokasi Gunung Sari yang mana juga sesuai keluhan serta laporan warga. Rangkaian hearing kali ini merupakan tindak lanjut rapat kerja beberapa waktu lalu bersama Kepala Dinas Penanaman Modal dan Tenaga Kerja, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, dan Kepala Satuan SatPol PP Singkawang.
Marihot Gultom dalam pertemuan tersebut setidaknya menjelaskan beragam hal terkait menjawab pertanyaan para Wakil Rakyat Singkawang dari Komisi I perihal beragam masalah pertanahan yang ada. Dikatakannya, pada dasarnya semuanya mesti mengacu pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Dalam UUPA semua warga negara Indonesia berhak mendapat hak milik. Dia mengatakan, khusus soal hak milik Yos Purnomo tidak ada yang salah. Yang mungkin salah, dan dia juga mengakui sama berfikir dengan para Wakil Rakyat Singkawang ini adalah jika sesuai topografi seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) itu bisa terbit hak yang melalui proses tentunya dan seharusnya itu memang tidak bisa diberikan.
” Terkait kepemilikannya tidak ada yang salah. Jadi makanya jika sudah jadi ruang terbuka hijau publik harusnya pemkot melakukan permohonan ke kami dan membebaskan penguasaan pemilikan di sana dulu, baru kita bisa membatalkan,” jelas Marihot, Rabu (9/9/2020).
Ia juga mengakui bahwa dalam RT/RW Singkawang yang baru memang kawasan tersebut sudah masuk hutan kota, dalam sistem pelayanan pihaknya saat ini juga meyakini siapapun yang mendaftarkan permohonannya pasti akan dimintai izin penggunaan berikut pemanfaatannya. “Pengalaman saya kalau menyangkut hutan kota, hutan penyangga dan semacamnya yang dimohon masyarakat itu kebanyakan mereka tidak mau kasi izin,” jelasnya.
Demikian pula saat salah seorang Anggota Komisi I Dido Sanjaya, menyinggung soal pengakuan atas hak tanah warisan kerajaan yang digaungkan anggota masyarakat di Singkawang dan diakuinya juga menjadi dilema bagi pihaknya. Dijelaskan oleh Marihot terkait hal itu bahwa Indonesia sudah merdeka, berikut pemerintahan swapraja diubah menjadi NKRI. Sebagaimana ditegaskan dalam UUPA bahwa ada ketentuan peradilan terkait hak-hak lama akan diakui sepanjang kenyataanya ada.
” Ini undang-undang, bukan BPN yang buat. Nyatanya kita lihat dikuasai atau tidak, jadi seperti itu. Sepanjang kenyataan fisiknya nyata, ya boleh didaftarkan dan membayar biaya sesuai ketentuan,” terangnya.
Disuarakan pula oleh Wakil Rakyat lain, Afriza misalnya yang menanyakan soal perkiraan jumlah luas lahan kosong atau yang belum dikuasai oleh masyarakat di lokasi Gunung Sari dan mendapat penjelasan dari Marihot bahwa memang masih banyak lahan di kawasan tersebut yang terbilang belum bersertifikat. “Siapa saja yang menguasai tentu kita tidak tahu,” jelas Marihot.
Sementara itu, Sumian, selaku Ketua komisi I kepada wartawan mengatakan bahwa komisinya berupaya melakukan pengawasan dalam hal ini. Ia mencontohkan, jika di sana memang berdiri bangunan dengan konstruksi beton dan sesuai kajian Lingkungan Hidup bahwa hal tersebut merusak lingkungan, berarti pihaknya menegaskan dan menyampaikan hal itu tidak diperbolehkan.
” Apa lagi tidak ada ijin, jadi hari ini kita hanya konfirmasi tentang kepemilikan lahan dengan pihak pertanahan. Lahan atas nama Yos Purnomo saya juga tidak kenal,” terang Sumian.
Saat ditanya adakah rencana memanggil pemilik lahan untuk ditanyai lebih lanjut dalam rapat dengar pendapat selanjutnya, Ia belum dapat memastikan. “ Kiat mesti rapat internal di komisi dulu, setelah itu dilaporkan ke ketua DPRD. Tapi jika dirasa perlu, tidak menutup kemungkinan kita panggil,” tuturnya.
Pernyataan senada disampaikan pula Dido Sanjaya, pihaknya dalam hal ini melakukan pengendalian lebih dini. Untuk itu memang harus melibatkan pihak pertanahan karena masalah ini masuk dalam domain BPN/ATR. Soal lain yang tak kalah krusial lanjutnya, harus jeli memilah antara sertifikasi dan pelanggaran Tata Ruang. Sebab dua hal itu jelas beda dan jika tidak jeli maka mudah dipelintir sedemikian rupa.
” Kalau hak siapapun warga negara boleh memiliki hak. Tapi soal membangunnya itu, dia harus merujuk pada pola tata ruang di sini,” katanya.
Pemerintah diharapkan pula oleh Dido agar jangan sekedar manis di bibir dan lebih mengacu pada aturan main yang ada. Sebab menyangkut masalah Gunung Sari sudah sangat jelas dan tegas berdampak pada sanksi pidana, jika sanksi ini bisa dikenakan berarti bisa memberikan efek jera kepada siapapun yang melanggarnya.
” Soal masalah di gunung sari itu kami tidak ikut campur soal sertifikasinya, dia bisa langsung berurusan dengan pertanahan atau pengadilan. Fokus kita lebih kepada pelanggaran pola ruang. Regulasi di sana hutan kota, apapun bentuknya hutan kota harus kita amankan,” pungkasnya. (Topan)