Jppos.id || Jakarta.Pemuda Batak Bersatu kembali mengerumuni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang pada hari ini, Selasa (24/1/2023) menggelar pengadilan mendengar tanggapan hukum dari pengacara Kuat Maruf terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum terkait kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat.
Pemuda Batak Bersatu telah sejak awal ikut mengawal pengadilan kasus pembunuhan ini yang melibatkan Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi, Ricky Rizal, Richard Eliezer, dan Kuat Maruf.
Kasus pembunuhan terencana pada 8 Juli 2022 lalu itu menyeret sejumlah orang, termasuk jajaran polisi dan menohok citra Kepolisian RI di mata masyarakat.
Pemuda Batak Bersatu bersama masyarakat Indonesia kian gelisah ketika JPU memberi tuntutan penjara seumur hidup kepada Ferdi Sambo, 12 tahun untuk Richard Eliezer dan 8 tahun penjara untuk Ricky, Putri, dan Kuat Maruf.
Keputusan itu dirasa tidak rasional oleh Pemuda Batak Bersatu, dan karena itu meminta majelis hakim bisa memberi keputusan yang memberi rasa keadilan masyarakat.
“Kami akan terus mengawal pengadilan kasus ini agar bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kami, Pemuda Batak Bersatu mendukung supremasi hukum, mendukung profesionalisme Polri, dan berharap hukum tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah,” kata Sihombing, seorang petinggi di Pemuda Batak Bersatu saat berorasi di PN Jakarta Selatan, Selasa (24/1/2023).
Dia mengatakan, apa yang dialami oleh satu orang Batak, itu dirasakan juga oleh seluruh orang Batak. Namun, Pemuda Batak Bersatu berjuang untuk semua orang Indonesia, untuk Indonesia Jaya.
Pemuda Batak Bersatu juga memberi kontrol kepada kinerja lembaga-lembaga negara agar bekerja transparan dan akuntabel.
Jumlah Pemuda Batak Bersatu merupakan organisasi dengan jumlah orang yang besar. Mereka berjanji akan datang lagi ke pengadilan dengan jumlah yang lebih besar lagi untuk mencari keadilan.
Bersamaan dengan jutaan mata masyarakat Indonesia yang mengikuti pengadilan kasus ini, Pemuda Batak Bersatu mendesak JPU dan hakim bersikap adil menangani kasus terbesar di kalangan Kepolisian RI ini.
Sampai hari ini motif utama rencana pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat belum terungkap jelas. JPU sendiri menggunakan bukti “perselingkuhan” yang tidak sesuai dengan fakta di pengadilan.
Sejak awal kasus ini sudah diskenariokan oleh Ferdy Sambo dan istrinya. Skenario juga diajarkan kepada tersangka lainnya agar berbicara dalam satu kata.
Skenario itu dibongkar oleh Richard Eliezer sebagai Justice Collaborator. Tanpa Eliezer, kasus ini sudah masuk peti es. Relasi kuasa berada di balik ketidakmampuan para tersangka berkata jujur dan keluar dari tekanan Ferdy Sambo.
Terakhir merebak isu sekelompok orang yang tampil sebagai gerakan bawah tanah untuk menghalangi hukuman terhadap Ferdy Sambo. Walau coba dibantah oleh Menkopolhukam, namun masyarakat yakin isu itu mengandung kebenaran.
Persidangan masih panjang, masyarakat makin gelap. Hukum di negeri ini jadi penyebab ketidakadilan terus berkembang biak dengan cepat. Korban-korban sudah berjatuhan, dari Sabang hingga Merauke. Indonesia tak alami krisis global, yang pasti Indonesia mengidap penyakit kronis kanker hukum yang membawa kematian dari hari ke hari. (Erf)