Jppos.id / Rokan Hilir – Persidangan kasus peredaran pupuk ilegal di Rokan Hilir kembali menjadi sorotan publik. Setelah tiga kali penundaan agenda pembacaan tuntutan dengan alasan berkas belum rampung, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akhirnya membacakan tuntutannya pada Selasa (16/9/2025).
Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Rohil dan informasi yang diperoleh awak media, tim JPU Kejari Rohil yang menangani perkara ini terdiri atas Genta Patri Putra, S.H., Agung Dwi Wichaksoni, S.H., dan Daniel Putra Sitorus, S.H. Namun mengejutkan, terdakwa utama Mulyono alias Pak Mul bin Teguh bersama empat rekannya hanya dituntut 1 tahun 3 bulan penjara serta denda Rp1 miliar, subsider 3 bulan kurungan.
Padahal, dalam dakwaan Jaksa sebelumnya, para terdakwa dijerat Pasal 122 jo Pasal 73 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda hingga Rp, 3 miliar. Ringannya tuntutan ini menimbulkan tanda tanya publik mengenai keseriusan penegakan hukum terhadap kasus yang jelas-jelas merugikan sektor pertanian.
Berdasarkan isi dakwaan, Kasus ini bermula pada Minggu, 27 April 2025, saat tim opsnal Polres Rohil yang dipimpin Kasat Reskrim AKP I Putu Adi Juniwanata menggelar patroli di Jalan Lintas Riau–Sumut KM 6, Balam, Kepenghuluan Bangko Permata. Dalam operasi tersebut, polisi menemukan dua mobil Pickup bermuatan 81 karung pupuk Phosfat Super Phonskah 15-15-15 tanpa label resmi dan tidak terdaftar di Kementerian Pertanian.
Hasil penyelidikan mengungkap pupuk tersebut milik Mulyono, yang didapat dari seorang pemasok bernama Ahok (DPO) di Medan dengan harga Rp145 ribu per sak. Barang tersebut disimpan di gudang milik Mulyono di Bagan Batu sebelum diedarkan. Sementara itu, empat terdakwa lainnya , Evri bin Samino, Bayu Pamungkas, Fahmi Pardede, dan Amril Saleh Harahap, hanya berperan sebagai kurir dengan bayaran Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per sak.
Dalam persidangan, ahli dari Kementerian Pertanian, Hendri Y. Rahman, S.Tp., menegaskan bahwa pupuk tersebut tidak terdaftar secara resmi dan karenanya ilegal untuk diedarkan.
Meski demikian, fakta bahwa sidang tuntutan sempat tertunda tiga kali dan akhirnya berujung pada tuntutan ringan menimbulkan keraguan atas transparansi proses hukum. Publik kini menunggu, apakah majelis hakim akan sejalan dengan tuntutan jaksa atau justru menjatuhkan vonis lebih berat sesuai ancaman maksimal undang-undang.
Publik berharap ,putusan dalam perkara ini nantinya dinilai akan menjadi tolak ukur integritas peradilan dalam menegakkan hukum sekaligus melindungi petani dari peredaran pupuk ilegal.**







