JPPOS.ID || KLATEN – Masyarakat petani Jawa Tengah adalah bagian dari masyarakat petani bangsa Indonesia yang memiliki ritual upacara tradisi pada setiap menjelang panen raya padi yang disebut “Miwit”.
Miwit berasal dari kata “wiwit” yang berarti permulaan atau awal.
Ritual “Miwit” masih dilakukan sebagian besar petani di pedesaan di wilayah Jawa bagian tengah hingga dekade 80 an. Namun seiring dengan perubahan zaman dan perubahan generasi petani, saat ini ritual “Miwit” hanya dilaksanakan oleh segelintir petani yang memang benar benar ingin melestarikan adat kebiasaan leluhur mereka.
Ritual “miwit” dilaksanakan pada saat tanaman padi menginjak usia sekitar 4 bulan yang ditandai dengan tanaman padi yang mulai menguning.
Ritual miwit ini menurut filosofi masyarakat petani adalah sebagai wujud syukur kepada tuhan yang maha esa yang dimanisfestasikan dalam figur “Dewi Sri” atau yang biasa dianalogikan sebagai dewi kemakmuran. Atas berkat dan rahmat dari Tuhan, tanaman padinya bisa tumbuh berkembang hingga panen.
Dalam ritual miwit itu terkandung sebuah niat untuk bersedekah atau berbagi kepada sesama, khususnya anak anak petani yang biasa ikut bapak ibunya bekerja di sawah.
Adapun “ubo rampe” upacara tradisional miwit itu adalah sebakul nasi liwet yang disertai lauk pauk, telur rebus, gereh (ikan asin), sayur mayur yang sudah direbus, bubuk kedelai dan ingkung ayam serta dilengkapi buah buahan.
Nasi dan semua ubo rampe yang ada kemudian dibagi bagikan kepada anak anak yang ada di sawah pada saat itu dengan “dipenak” menggunakan bungkus daun pisang atau daun jati.
Selanjutnya ada anak yang diberi “tugas” khusus untuk berdoa memohon kepada tuhan yang maha esa di setiap pojok sawah. Anak yang diberi tugas khusus ini diberi porsi yang lebih “istimewa” dibanding teman temannya yang lain. Namun sangat disayangkan, tradisi miwit saat ini boleh dikatakan sudah hampir punah. Sebagian besar petani saat ini sudah tidak melakukan tradisi tersebut. (Jppos DIY Valens& Tiyok)