JPPOS.ID||BANGGAI(SULTENG) – Kerinduan bertambahnya jumlah jiwa dalam satu organisasi Gereja adalah merupakan tugas menjalankan dan mengamalkan amanat Agung Yesus Kristus dalam Injil Matius 28:19a Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku. Dan selanjutnya Matius 18:12 “Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu?
Matius 18:13 Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat.
Bertolak dari ayat tersebut, itulah visi dan misi para founding father GPdI sejak tahun 1921. Semangat juang para founding father itu di ibaratkan perjuangan untuk membesarkan bayi hingga bertumbuh menjadi dewasa seperti kalimat pernyataan seorang pemimpin GPdI Sulteng berinisial SL dalam surat sanggahannya. Terjadi pro dan kontra dan telah menjadi polemik berpikir jika disandingkan dengan fakta GPdI Sulteng yang telah berexodus ke GSPDI dan GAB artinya fakta data statistik warga GPdI Sulteng justru berkurang tidak ada pertambahan jumlah. Kalau jemaat GPdI berexodus ke denominasi yang bukan GPdI lagi, ada beberapa kemungkinan.
- Jemaat sendiri yang memilih sesuai pilihannya.
- Karena proses penyelesaian masalah gereja lokal tidak melihat dan menerapkan konsep win-win solution” .
Ada masalah? Jawaban objektifnya, pasti ada. Tetapi pertanyaan selanjutnya mengapa ada indikasi daya tarung jemaat dengan pimpinan selaku mandataris? Permasalahan gereja dewasa ini, telah menjadi agenda tugas bagi para pemimpin organisasi, mau tidak mau, suka tidak suka, ini adalah tugas pimpinan yang tidak bisa diabaikan. Demi keutuhan organisasi betapa pentingnya komunikasi internal dalam lembaga denominasi sendiri sehingga keutuhan pelanyanan sekalipun adanya permasalahn gereja lokal pasti dapat terselesaikan dengan baik-baik, dan tidak adanya azas pemanfaatan denominasi lain, itu karena daya tarung ego kepentingan gengsi organisasi tetapi tanpa sadar telah mengabaikan konsep pelayanan yang sesungguhnya. Sayang sekali situasi ini jika terus berlanjut di tubuh GPdI. Menghindari peristiwa tersebut adalah lebih baik membangun komunikasi dalam internal organisasi demi pengoptimalisasian potensi individu jemaat dan juga kompetensi struktural demi peningkatan kelembagaan gereja. Namun sekarang ini dalam penerapannya ketika adanya permasalahan yang harus di selesaikan konsep objektifitas tidak lagi di kedepankan oleh para pelaku organisasi. Marilah bersatu untuk merajut kembali GPdI menjadi organisasi yang dapat di percaya oleh warga kita sendiri. Jangan ada kalimat bahwa “Mereka itu adalah Oposisi”.
(BN – JPP)