JJPPOS.ID,Jakarta II – Revisi Undang-Undang (RUU) Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 menjadi sorotan karena ada perluasan wewenang bagi jaksa, yakni bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penuntutan sebagaimana tertulis di Pasal 1 Ayat (1). Sebab, jaksa dianggap serakah lantaran mau mengambil banyak tugas dan fungsi penegakan hukum.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai ada kesan Kejaksaan serakah terhadap wewenang dan tugas dalam penegakan hukum. Karena, semua tugas dan fungsi ingin mereka ambil melalui revisi Undang-Undang Kejaksaan.
Dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
“Ya serakah, terkesan jaksa selain menjadi penuntut, penyidik juga, advokat juga. Karena itu, harus dibatasi,” kata Fickar kepada wartawan pada Sabtu, 26 September 2020.
Menurut dia, kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi dan diletakkan pada proporsinya yakni hanya menangani perkara tindak pidana tertentu saja. Karena, selama ini penyidikan selain polisi juga bisa dilakukan oleh PPNS atau penyidik PNS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jadi jika ingin diberikan fungsi penyidikan, itu hanya pada tindak pidana tertentu saja seperti tipikor (tindak pidana korupsi) dan TPPU (tindak pidana pencucian uang). Jadi harus jelas dan pasti dalam perkara apa, bukan dalam arti penyidik secara umum,” ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan wewenang jaksa sebagai ahli hukum lain (tata usaha negara perdata) juga harus bersifat konsultatif saja bagi pemerintah. Karena, fungsi operasionalnya merupakan bagian dari wilayah kerja profesi advokat. “Jangan mengambil peran profesi advokat,” jelas dia.
Di samping itu, Fickar mengatakan secara universal dimana pun belahan dunia bahwa jaksa itu hadir dalam konteks sistem penegakan hukum yang berfungsi sebagai penuntut umum tunggal dan pelaksana eksekusi hukumannya.
Sementara, ia juga mengkritisi fungsi intelijen kejaksaan. Menurut dia, menyadap tidak boleh diberikan secara umum tanpa izin pengadilan. Sebab, jaksa dalam status dominis litis hanya dapat mengendalikan khusus perkara pidana.
“Karena itu, penyadapan pun harus dalam konteks perkara pidana dan tetap harus ada izin pengadilan,” tandasnya.(Effendi)