Jppos.id || Perkembangan sejarah Arsitektur Indonesia dimulai pada tahun 1908, ketika sejumlah pemuda mendirikan Organisasi Budi Utomo. Dari 13 calon ketua, terdapat seorang Arsitek dari Semarang, bernama Mas Abukassan Atmodirono (1860-1920), lulusan sekolah pertukangan di Jakarta. Pada tahun 1878 ia mulai bekerja di Kantor Pekerjaan Umum Hindia Belanda sebagai pengawas (opzichter) kelas 3. Setelah lulus ujian, di tahun 1901 ia menjadi Arsitek bumiputera yang pertama di Indonesia.
Pencapaian Atmodirono memiliki dimensi kultural, karena terbukti seorang bumiputera mampu merencanakan dan mengawasi pekerjaan keteknikan modern yang semula hanya dikuasai oleh orang Belanda. Sekali pun keahliannya datang dari ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, ketika merancang Gedung Sasono Suko di Solo (kini Monumen Pers Nasional) pada tahun 1918, Atmodirono tak melupakan akar budayanya. Karya arsitekturnya merintis ekspresi multi kultural yang unik, gabungan kreatifitas arsitektur Barat yang fungsional dan rasional dengan kekhasan arsitektur Hindu-Jawa yang sarat simbol dan makna.
Perjalanan Arsitek di Indonesia akhirnya tiba di salah satu puncaknya ketika Fakultet Pengetahuan Teknik di Bandung dari Balai Perguruan Tinggi RI mendirikan Bagian Bangunan Umum (1950). Tujuannya, mendidik calon Insinyur Bangunan yang menguasai ilmu teknik sipil sekaligus memiliki pengetahuan estetika dan perihal bangunan utilitas, bangunan kota dan perumahan. Lambat laun, sejak 1960 jumlah perguruan tinggi Arsitektur terus tumbuh dan berkembang, dan kini telah mencapai 170 Perguruan Tinggi Arsitektur.
Menurut Georgius Budi Yulianto atau yang kerap disapa Bugar, Ketua Umum IAI sejarah terbentuknya IAI berawal dari dorongan situasi dan kondisi industri konstruksi yang pada saat itu kurang sehat. Arsitek tersohor F. Silaban, Liem Bwan Tjie, dan M. Soesilo beserta sebagian dari lulusan angkatan pertama Insinyur Bangunan berhasil membentuk Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) di Bandung, 17 September 1959.
“Saat itu, Soehartono Soesilo, Ketua IAI pertama, dan kawan-kawan bertekad memperkuat posisi profesi Arsitek, menyusun cara yang lebih baik untuk melayani kebutuhan masyarakat, seraya mencari dan menemukan jati dirinya sebagai ahli seni bangunan di alam Indonesia merdeka. Agenda Menuju Arsitektur Indonesia yang dilontarkan Prof. Ir.V.R.van Romondt tahun 1954, senantiasa menjadi obsesi segenap insan Arsitek Indonesia hingga saat ini, Bugar menegaskan.
Lebih lanjut ia memaparkan, di panggung internasional, beberapa karya Arsitek Indonesia telah diakui keistimewaannya. “Penataan Kampung Kali Code di Jogjakarta, Pembangunan Kawasan Citra Niaga di Samarinda, Masjid Said Naum di Jakarta, dan terakhir Bandara Banyuwangi,untuk menyebutkan empat saja, dianugerahi Aga Khan Award for Architecture. Di ranah cagar budaya, upaya pelestarian Gedung Arsip Nasional di Jakarta tahun 2001 dan pelestarian Kampung Wae Rebo di Flores tahun 2012, telah menerima UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation. Peristiwa itu membuktikan kualitas karya Arsitek Indonesia di tingkat dunia.” Lanjut Bugar.
Di antara pencapaian-pencapaian itu, profesi Arsitek belum sepenuhnya menjadi profesi yang diatur khusus (UU Arsitek di Malaysia sejak 1967). Industri konstruksi dibingungkan oleh para oknum yang menyebut atau mengaku dirinya Arsitek, padahal tidak memiliki kompetensi yang memadai, apalagi beretika profesi. Setelah melalui perjalanan panjang dan berliku, ketidakpastian itu akhirnya mendapatkan jalan keluarnya. Pada 8 Agustus 2017, UU No.6/2017 tentang Arsitek sah berlaku.
Peristiwa itu menandai kebangkitan profesi Arsitek di abad XXI. Kepastian hukum atas profesi Arsitek sesungguhnya merupakan jaminan bahwa layanan Arsitek dapat dipertanggungjawabkan, dan karya arsitekturnya sesuai keandalan bangunan: keselamatan, kenyamanan, kemudahan dan kesehatan. Pada gilirannya karya arsitektur sepatutnya sedap dipandang mata, kokoh dan berguna, berpijak pada pengetahuan modern tentang teknik membangun yang terus berkembang pesat. Di atas semua itu, Arsitek harus berjiwa Indonesia, karena dirancang oleh anak bangsa yang mengerti dan memahami isu-isu sosial dan akar budaya di tempat ia lahir dan berpijak, sekaligus berani bersaing dengan karya-karya arsitektur mancanegara.
Kehadiran dunia Arsitektur di Indonesia diperkuat dengan terbentuknya APTARI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia). Yulianto Purwono Prihatmaji. Ketua APTARI menjelaskan, Di bawah naungan APTARI, anak bangsa mulai dibimbing dan diarahkan secara terukur dan bertanggung jawab untuk mendapatkan persiapan yang matang menjalani proses menjadi Arsitek di tiap-tiap perguruan tinggi. Dengan rujukan sistim validasi UIA (International Union of Architect)–salah satunya adalah Canberra Accord–maka capaian Pembelajaran Lulusan 16 Kompetensi Arsitek diadopsi sekolah Arsitektur di Indonesia dan tetap bersinergi dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing.
Di dalam keragaman itu para peserta didik didorong untuk memahami dan menguasai muatan tradisi lokal, sekaligus mengintegrasikannya ke dalam wujud arsitektur modern yang menjawab masalah perubahan iklim, pemanasan global, era disrupsi, dan siap beradaptasi dengan kelaziman baru. “Untuk kesetaraan kualitas dan fasilitas sekolah Arsitektur di Indonesia, APTARI, IAI, DAI akan membentuk Indonesian Architectural Accrediting Board atau IAAB bersama Pemerintah dan para mitra yang lain.” kata Yulianto
Sementata itu, IAI membentuk DAI (Dewan Arsitek Indonesia) yang independen dan mandiri. Saat ini diketuai oleh Bambang Eryudhawan, akrab dipanggil Yudha. Ia mengatakan, sembilan anggota DAI dikukuhkan Menteri PUPR pada 3 Desember 2020, dan mengemban tugas dan fungsi untuk menetapkan seseorang menjadi Arsitek melalui Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).
“Uji kompetensi diselenggarakan DAI bagi lulusan pendidikan professional yang sudah magang di bawah pengelolaan IAI. Jika lulus serta tidak memiliki masalah hukum dan administrasi, DAI akan menerbitkan STRA. Yang bersangkutan kemudian berhak menyebut dirinya Arsitek (Registered Architect) dan melakukan Praktik Arsitek secara beretika dan bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan masyarakat pengguna. Bagi yang tidak memiliki STRA, maka yang bersangkutan tidak boleh menyebut dirinya Arsitek dan tidak boleh menjalankan Praktik Arsitek.”, Yudha mengingatkan.
IAI sebagai satu-satunya asosiasi profesi arsitek akan membina kompetensi Arsitek agar mampu menjaga dan mengembangkan kemampuannya sesuai dinamika jaman. Soal-soal seperti green building dan urban heritage merupakan agenda kolektif yang mewarnai solusi kreatif imajinatif para Arsitek Indonesia dalam berkarya.
Pada titik terujung, lanjut Yudha, pemilik STRA yang akan bertanggung jawab atas gambar dan dokumen perancangan arsitektur dalam proses perijinan, dapat mengambil Lisensi Arsitek yang dikelola bersama antara IAI dan Pemerintah Provinsi. Melalui IAI pula, para Arsitek saling berbagi dan bertukar informasi, pengetahuan dan pengalamannya melalui kegiatan bermutu seperti sayembara, pameran, seminar, dan kegiatan lainnya yang berskala nasional maupun internasional. IAI juga menghubungkan Arsitek Indonesia dengan badan internasional seperti UIA (Ikatan Arsitek Dunia) dan ARCASIA (Ikatan Arsitek Asia).
“Pergaulan internasional itu secara nyata menguatkan posisi Arsitek Indonesia di mata dunia, menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk senantiasa menjaga dan mengembangkan kompetensinya, patuh pada peraturan tata kota, bangunan gedung dan kecagarbudayaan, serta menegakan kode etik dan kaidah tata laku Arsitek.” Katanya.
Pembangunan Indonesia adalah pembangunan jiwa dan raga. Para Arsitek Indonesia dituntut berpraktik dengan menggunakan keahlian dan pengalamannya yang terbaik untuk melayani kebutuhan pengguna dalam dimensi ekonomi dan sosial-budayanya. Karya arsitektur merupakan jawaban atas tantangan jaman yang mengarah pada kehidupan berbasis human oriented development dan net zero emission. Kita tak boleh membiarkan persoalan arsitektur diselesaikan oleh tangan-tangan yang tidak pantas menyebut dirinya “Arsitek.” Kita pun ingin menjadi tuan rumah yang tangguh di tengah persaingan global.
APTARI yang yang saat ini diketuai Yulianto Purwono Prihatmaji, IAI yang diketuai Georgius Budi Yulianto, dan DAI yang diketuai Bambang Eryudhawan, bersepakat mengemban tugas pembangunan dan pembinaan profesi Arsitek sejak hulu hingga hilir karena bertekad ikut memajukan negeri demi masyarakat yang adil dan makmur, dan sekaligus aktif menyelamatkan bumi untuk kita semua. (Erf)