JPPOS.ID,JAKARTA_Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai pengusaha. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, sebanyak 99% usaha di Indonesia di dominasi oleh UMKM, namun hanya 57,24% saja yang berkontribusi terhadap PDB Nasional. Masih banyak UMKM yang tidak menjalin kemitraan, bahkan menggunakan teknologi untuk menjalankan usahanya. Banyak juga UMKM yang masih berlum tersentuh pembiayaan atau mengajukan kredit.
Pengembangan UMKM ini telah tertuang dalam RPJMN 2020-2024, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas telah merancang arah kebijakan untuk pengembangan UMKM yakni dengan peningkatan kemitraan usaha antar usaha mikro kecil dan usaha menengah besar, Peningkatan kapasitas usaha dan akses pembiayaan bagi wirausaha, Peningkatan penciptaan peluang usaha dan start-up, serta Optimalisasi pemanfaatan teknologi digital dan industri 4.0.
Berdasarkan masterplan pengembangan UMKM di Indonesia, Bappenas telah menyusun strategi untuk pengembangan UMKM melalui penguatan rantai nilai dengan Kemitraan yang strategis. Kemitraan disini dimaksudkan sebagai kerjasama usaha antara UMK dengan Usaha Menengah Besar (UMB), disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar, dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Dorongan kemitraan yang difasilitasi pemerintah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian pembinaan UMKM yang dilakukan oleh Pemerintah. Kemitraan dapat difasilitasi secara organik melalui inisiasi dari offtaker, Perantara Usaha maupun UMKM serta insiasi/matchmaking yang difasilitasi oleh Pemerintah dalam bentuk temu bisnis, fasilitasi penerapan teknologi, ataupun perusahaan besar mitra pengembangan UMKM yang sudah terjalin.
Faktor kunci kesuksesan dari kemitraan strategis ini melingkupi pendekatan rantai nilai dalam pengembangan UMKM, pengembangan prinsip business to business, pembinaan dan pendampingan, hingga monitoring dan evaluasi secara berkala.
Selain UMK, yang perlu diperhatikan juga keberlangsungannya ialah Industri Kecil Menengah (IKM). Walaupun terkadang UMKM dan IKM terkadang disamakan namun secara harfiah, kedua jenis usaha ini memiliki perbedaan. IKM ialah sebuah usaha kecil menengah yang memproduksi berbagai macam produk yang kemudian dijual melalui UMK. Tanpa adanya Pelaku usaha UKM, para pelaku usaha IKM akan menjadi kesulitan dalam men-supply hasil produksi dari industri yang dijalaninya.
Pemberdayaaan IKM merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejauh ini, IKM mampu menyerap tenaga kerja sekitar 67%, namun dari segi produktivitas relatif masih rendah. Pertumbuhan produksi IKM mengalami tren peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan di periode tahun 2015-2019 sebesar 5,54 persen—di atas rata-rata pertumbuhan PDB nasional.
Pengembangan IKM membutuhkan sebuah program yang terpadu sehingga para pelaku IKM dapat memperoleh hasil yang baik. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan untuk pengembangan IKM yang pertama diperlukannya akses pembiayaan, kedua akses sumber bahan baku, ketiga fasilitas teknologi dan sarana prasarana produksi, keempat peningkatan yang kualitas produk dan keahlian SDM, kelima peningkatan akses pasar.
Jika program ini sudah berjalan secara terpadu maka para pelaku IKM dapat dengan mudah mengembangkan usahanya. Hasil produksi mereka pun akan jauh lebih naik dari sebelumnya.
Salah satu program pengembangan usahawan baru yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini melalui program Wira Usaha Baru (WUB). WUB adalah sebuah kegiatan pelatihan dan pendampingan bagi calon pelaku IKM. Dengan adanya WUB ini, para pelaku usaha dapat memperoleh banyak bekal sebagai persiapan untuk menjalankan usaha mereka.
WUB ini akan diterapkan pada beberapa kelompok yang terdiri dari WUB di daerah perbatasan tertinggal, WUB bagi penghuni LAPAS, WUB berbasis perguruan tinggi, dan WUB berbasis pondok pesantren. Diharapkan dengan program ini, dalam satu tahun dapat menghasilkan kurang lebih 1.500 WUB.(Effendi)